Beberapaseniman Lenong Betawi terkenal yang lahir dan terkenal dari kesenian ini cukup banyak. Sebut saja H. Bokir (alm), Mpok Nori sampai Mandra. Namun tokoh dalam bidang ini siapa lagi kalau bukan H.M. Nasir T (Bang Nasir). TANJIDOR Selain mendapat pengaruh dari budaya Cina, kesenian Betawi dipengaruhi oleh beragam budaya dari Eropa.
Ismail Marzuki adalah salah seorang komponis besar Indonesia yang lahir pada tahun 1914 di Kwitang, Jakarta Pusat. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki TIM di kawasan Salemba, Jakarta Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini, memang memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan rumah keluarga Marzuki ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, mulai dari keroncong, jali-jali, cokek, sampai gambus. Ismail pun tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia. Banyak nantinya karya yang diciptakan Ismail memiliki irama Latin, seperti rumba, tango dan beguine. Ismail memang sangat menyukai lagu-lagu berirama menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP, Ismail kemudian mengikuti panggilan hatinya untuk bekerja dalam musik. Setelah sempat bekerja di sebuah toko penjual piringan hitam, Ismail akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon dan semakin bersinar setelah Belanda membentuk sebuah radio yang diberi nama Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij NIROM. Orkes Lief Java, tempat Ismail bermain, diberi kesempatan untuk mengisi siaran musik. Bakat dan jiwa musik Ismail makin berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui sang ayah, walau pun menyukai dunia musik, tidak begitu setuju dengan karir Ismail di jalur musik. Beliau kuatir dengan asumsi masyarakat pada saat itu yang masih memandang rendah profesi seniman. Sebaliknya, Ismail tidak terpengaruh dengan pencitraan yang dibuat oleh Belanda tersebut. Bahkan setiap naik kelas, ia selalu minta dibelikan berbagai macam alat musik, macam harmonika, mandolin yang memiliki bakat dan fasilitas bermusik yang besar tidak menyia-nyiakan karunia yang ada. Ia pun mengembangkan kemampuan musiknya lebih jauh lagi dengan mencoba untuk menggubah lagu. Karya pertamanya yang berjudul O Sarinah pun lahir di tahun 1931, ketika usianya 17 tahun. Tembang ini bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi juga perlambang bangsa yang tertindas memang memiliki semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air. Peran sang ayah sangat besar dalam membentuk kepribadian tersebut. Beliau terus mendorong agar Ismail tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya dan mampu berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan penciptaan musik dalam karir Ismail Marzuki dibagi dalam dua periode besar, yakni pada periode Hindia-Belanda dan periode pendudukan Jepang serta revolusi kemerdekaan. Pada periode pertama, karya Ismail banyak dipengaruhi oleh irama musik yang terkenal saat itu, yakni jazz, hawaiia, seriosa/klasik ringan dan keroncong. Karyanya yang terkenal adalah Keroncong Serenata, Kasim Baba, Bandaneira dan Lenggang kedua pada jaman penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radionya Jepang. Tembang-tembang macam Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari Selatan lahir di jaman ini. Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola 1946, Melati di Tapal Batas 1947, Bandung Selatan di Waktu Malam 1948, Selamat Datang Pahlawan Muda 1949.Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Banyak penghargaan seni yang diberikan kepada Ismail karena dedikasi pada musik, perjuangan dan kecintaannya pada Tanah Air. Salah satunya adalah Piagam Wijayakusuma yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus Lagu 1. Aryati2. Gugur Bunga3. Melati di Tapal Batas 19474. Wanita5. Rayuan Pulau Kelapa6. Sepasang Mata Bola 19467. Bandung Selatan di Waktu Malam 19488. Sarinah 19319. Keroncong Serenata10. Kasim Baba11. Bandaneira12. Lenggang Bandung13. Sampul Surat14. Karangan Bunga dari Selatan15. Selamat Datang Pahlawan Muda 1949Mengenang Ismail MarzukiTinggalkan Lagu Tak Berjudul dan Bersyair...Tak banyak yang tahu bahwa Mei adalah bulan lahir dan meninggalnya komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. Putra Betawi asli ini lahir di Kwitang Betawi pada 11 Mei 1914 dan meninggal di Jakarta pada 25 Mei 1958. Pada zamannya, Ismail Marzuki dan pencipta-pencipta lagu seangkatannya telah banyak melahirkan lagu populer Indonesia. Karya-karya penting dari Ismail Marzuki sebagai pencipta lagu adalah lagu-lagu perjuangannya. Namun, bagaimana pernik-pernik kisah masa lalunya?ORANGTUA Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi tempo disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper penjual piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk sekarang Jalan Ir. H. Juanda Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah orangtua Rachmat Kartolo. Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.***Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij NIROM dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II 1940 mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda Indonesia. Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep VORO berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu. Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma' Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran PRK, pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung Tegal-Lega. Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice HMV. Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.***Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai Polisi Militer Jepang, sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" 1947 dan "Halo-halo Bandung" 1948. Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang kental bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam".Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" - suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki - komponis besar Indonesia itu - menutup mata selamanya pada 25 Mei 1058.* surianto kartaatmadjaDia lahir tanggal 11 Mei 1914, dan tutup usia tanggal 25 Mei 1958. sosok yang berkepribadian luhur, khususnya dalam bidang seni. Salah seorang putra terbaik Betawi ini memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Ismail yang tergolong anak pintar, sejak muda senang tampil necis. Sore hari ia suka keliling kota dengan motor kebanggaannya, merek Ariel buatan Inggris. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat, dan ia senang berdasi. Tentu saja semua itu dimungkinkan karena Pak Marzuki ayah Ismail termasuk orang berkecukupan sebagai pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Dari ayahnya pula kemungkinan besar Ismail mewarisi bakat musik. Pak Marzuki diketahui gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Lihat misalnya Ismail Marzuki-Komponis Pejuang, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Drs Jajang Gunawijaya MA & Drs Wiyoso Yudoseputro, Editor, 1997 Ismail sendiri sejak kanak-kanak sudah tertarik dengan lagu-lagu. Di rumahnya ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, ada keroncong, jali-jali, cokek, gambus, dan sebagainya. Ismail juga tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia, yang sangat ia kagumi. Lalu kalau kemudian orang menemukan lagu-lagu ciptaan Ismail banyak yang berirama Latin seperti rumba, tango, dan beguine, itu juga karena Ismail sangat menyukai lagu-lagu berirama itu. Ismail sering menghabiskan waktu berjam-jam di muka gramofon dan setiap kali bersiul atau bernyanyi-nyanyi. Kalau teman-temannya datang ke rumah, topik hangatnya adalah lagu-lagu yang baru mereka dengarkan. Panggilan musik semakin menyusup dalam kehidupan Ismail setelah ia menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP. Ismail lalu bekerja di toko penjual piringan hitam, sebelum akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon, dan akordion. Ketika Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij NIROM, orkes Lief Java juga diberi kesempatan mengisi siaran musik. Tentu saja dengan itu, Bang Maing semakin dikenal orang. Lebih-lebih setelah bakat dan jiwa musiknya berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM. Meski sudah seperti tak terbendung, tak urung aktivitas seni Ismail sempat membuat khawatir ayahnya. Pak Marzuki rupanya berbagi dengan pandangan yang umum pada waktu itu, yaitu bahwa profesi seniman masih sering direndahkan. Misalnya, pemain sandiwara disebut "anak wayang", penyanyi disebut "buaya keroncong". Sebutan seperti itu tampaknya belum kena di hati Pak Marzuki. Di lain pihak, Ismail sendiri tidak terpengaruh oleh pencitraan yang diciptakan oleh Belanda tersebut. Untuk menegaskan tekadnya, setiap naik kelas ia malah selalu minta dibelikan alat musik-harmonika, mandolin, dan sebagainya-sehingga kamarnya dipenuhi berbagai alat musik. Memang, sebagai akibatnya, Ismail lalu jadi lebih terbuai oleh aneka alat musiknya itu daripada buku pelajaran. Warna penciptaan Bakat dan semangat bermusik yang sangat besar, ketersediaan aneka instrumen musik yang bisa dia akses, keterbukaannya pada berbagai jenis musik dunia, serta lingkungan pergaulan, semua itu lalu menjadi lahan yang amat subur bagi Ismail untuk mengembangkan lebih jauh kesenangan main musiknya, dan-ini dia yang lebih penting-menggubah lagu. Peran ayahanda Ismail-di luar kesediaannya untuk memenuhi keinginan Ismail pada alat-alat musik-tidak kecil di sini. Di luar kerisauannya menyangkut tekad bermusik putranya, Marzuki sendiri terus mendorong agar Ismail juga tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya, dan berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan dan kesukuan. Ini dapat menjelaskan, mengapa lagu-lagu Ismail Mz kaya akan semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air. Kepekaan Ismail pada perjuangan bangsanya lalu tercermin dalam alam penciptaannya. Karya pertamanya adalah O Sarinah yang dia ciptakan tahun 1931, jadi ketika usianya 17 tahun. Judul itu bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi ia juga perlambang bangsa yang tertindas penjajah. Menurut penelitian tim penulis Dinas Kebudayaan DKI di atas, yang hasilnya menjadi rujukan tulisan ini, proses penciptaan Ismail Marzuki dapat dibagi dalam dua periode besar. Yang pertama Periode Hindia-Belanda 1900-1942, Periode Pendudukan Jepang 1942-1945, dan Revolusi 1945-1950-an. Dalam Periode pertama, musik jazz, hawaiian, seriosa/klasik ringan, dan keroncong, mulai populer seiring dengan makin terpaparnya warga di kawasan Hindia-Belanda dengan kebudayaan, termasuk musik Barat. Ismail pun tak lepas dari pengaruh tersebut. Setelah O Sarinah 1931, ia mencipta antara lain Keroncong Serenata 1935, Roselani 1936 yang membawa pendengarnya ke suasana Hawaii, dan setahun kemudian 1937, Ismail mencipta lagu-lagu berlatar belakang Hikayat 1001 Malam seperti Kasim Baba. Ismail mulai mengisi musik untuk film tahun 1938, tatkala ia mengarang tiga lagu untuk film Terang Bulan. Sesudahnya Ismail masih menghasilkan lagu-lagu dengan judul yang antara lain merupakan nama tempat, seperti Bandaneira, Olee Lee di Kutaraja, Lenggang Bandung, Melancong ke Bali 1939. Dalam Periode ini, Ismail belum menciptakan lagu-lagu perjuangan. Sementara selama Periode Penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radio, yakni Hozo Kanri Kyeku Radio Militer Jepang. Dalam Periode ini lahir sejumlah lagunya yang terkenal, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari Selatan. Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola 1946, Melati di Tapal Batas 1947, Bandung Selatan di Waktu Malam 1948, Selamat Datang Pahlawan Muda 1949. Lalu, dalam tahun-tahun akhir kehidupannya, Bang Maing juga masih menghasilkan sejumlah lagu yang sangat terkenal. Sebutlah, misalnya, Candra Buana 1953, Payung Fantasi 1955, Sabda Alam 1956. Lagu terakhirnya yang tercatat adalah Inikah Bahagia? 1958. Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Ada yang menyebutnya 202, ada juga yang mengatakan sekitar 250. Apa pun, dari jumlah itu, yang bisa dikatakan masih populer berjumlah sekitar 75. Dalam buku-buku yang disusun oleh RE Rangkuti, DS Soewito, dan GS Pardede, yang dimuat memang hanya 50 lagu terpopuler. Sementara lagu indah seperti Murai Kasih yang dinyanyikan dengan manis oleh Rien Djamain, atau Mari Bung, dan Keroncong Hasrat Menyala tidak tercantum dalam kumpulan lagu pilihan tersebut. Untuk semua dedikasi pada musik, perjuangan, dan kecintaan pada Tanah Air, Ismail banyak mendapat penghargaan seni. Misalnya saja anugerah dari Presiden Soekarno berupa Piagam Wijayakusuma 17 Agustus tahun 1961. Romantisme dan kritik Gambaran umum tentang lagu-lagu Ismail Marzuki adalah perjuangan dengan romantismenya. Selendang Sutera yang diberikan gadis pujaan bagi pejuang merupakan suvenir yang menyertai kepergiannya ke medan tempur. Dan ketika lengan pejuang terluka parah, selendang sutera tersebut turut berjasa sebagai pembalut luka. Dalam lagu tersebut, kecuali unsur semangat juang, hal lain yang menonjol antara lain juga penguasaan bahasa liris Ismail. Di baris terakhir ia tulis Cabik semata, tercapai tujuannya. Duh, memang selendang hanyalah secarik kain, namun alangkah besar makna dan manfaatnya. Akan tetapi, dengan semua yang telah diberikannya, Ismail Marzuki tak juga terbebas dari kritik. Kritik L Manik, meski disampaikan tanpa menyebut nama, mungkin termasuk yang sangat pedas. Dalam jurnal Zenit No 3, th 1951 ia mengkritik lirik lagu Rayuan Kelapa. Menurut Manik, meski lagu itu mengambil inspirasi dari keindahan Tanah Air. Tetapi penggubahnya hanya sampai pada keindahan saja. Penggubah lagu tersebut masih berpikir dalam alam "Lief Indie", padahal itu alam pikiran yang menguntungkan penjajah di masa silam. Syairnya memang menggunakan perkataan yang bisa menimbulkan rasa kebangsaan dan kejayaan, suci dan luhur, tetapi lagunya lemah merayu, dengan konsepsi lagu yang dangkal. Jadi, meski lagu Rayuan Pulau Kelapa sukses dan banyak dinyanyikan, sebagai lagu Tanah Air dalam masa kebangunan bangsa, ia lemah. Memang, di tengah komunitas yang sebagian berpendidikan Eropa, dengan bekal disiplin musik klasik, sempat muncul penilaian, bahwa apa yang diciptakan Ismail berkategori "picisan", hanya cocok untuk selera orang kampung yang dianggap bukan golongan "intelektual". Musik memang sering dikaitkan dengan kata muse, atau muzen. Tetapi, apa yang dihasilkan Ismail disebut muizen atau tikus, malah blinde muizen atau tikus buta. Seperti dijelaskan oleh Firdaus Burhan yang menyusun karangan tentang Ismail Marzuki untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1983/1984, buta di sini untuk melukiskan Ismail yang tidak pernah sekolah di sebuah konservatorium di Amsterdam, tidak punya ijazah komponis, ijazah harmoni, kontrapunk, bel canto, dan sebagainya, tetapi berani membuat musik. Untunglah kritik yang dimuat di pers Belanda ini dapat ditahan oleh Ismail. Yang ironis, selanjutnya, di negeri yang sejumlah warganya pernah mengejek Ismail Marzuki, malah karya-karya putra Betawi ini terus dikenang. Pada bulan Mei seperti sekarang, lagu-lagu Ismail sering diperdengarkan di negara bekas penjajah itu. Kini, pada era reformasi demokratis, kritik terhadap karya Ismail Marzuki mungkin lepas dari masalah melodi atau musik pada umumnya. Yang dikritik adalah glorifikasi Ismail pada perjuangan fisik, pada pertempuran. Padahal, perjuangan Indonesia bukankah juga mencakup perjuangan diplomasi. Selain urusan puja-memuja Tanah Air-itu sendiri sebenarnya tidak buruk, apalagi dalam konteks masa sekarang ini, dimana orang banyak tak peduli urusan dan kepentingan bangsa-Ismail juga banyak mengangkat masalah sosial-kemasyarakatan yang hangat pada masanya. Dalam lagu Seruan Teruni, misalnya, Ismail sebel dengan seorang pria yang mengaku datang dari perjuangan, gagah-gagahan dengan uangnya, dan dengan itu seolah bisa berbuat apa saja. Mungkin saja di era sadar jender sekarang ini, ada yang tidak suka dengan lirik Sabda Alam. Tetapi, selain itu Ismail juga memotret hal lain yang mendalam. Lagu Tukang Becak Bang Samiun yang karena satu insiden marah-marah tapi dapat ditenangkan oleh saudara sebangsa yang cinta persatuan. Berterima kasih Indonesia beruntung punya sederet komponis besar seperti C Simandjuntak, Kusbini, Gesang, Iskandar, Sjaiful Bahri, Binsar Sitompoel, WR Supratman, L Manik, dan H Mutahar. Tetapi, Indonesia juga sangat beruntung memiliki seorang Ismail Marzuki. Tentu saja, Ismail Marzuki tidak bisa dianggap "seniman legendaris tak tertandingi", atau sebutan "terbesar" dan sejenisnya, karena, seperti pernah disampaikan oleh pemusik Suka Harjana, "dalam dunia seniman tidak ada yang paling besar." Sewajarnyalah demikian. Ismail Marzuki dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai komponis yang hidup pada zaman perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Wacana bangsa Indonesia kini telah beranjak jauh dari apa yang sezaman dengan Ismail Marzuki. Kalaupun karya-karyanya masih terus hidup, itu karena ada pertalian sejarah dan perasaan kebangsaan antara warga RI, baik yang hidup pada zaman itu maupun yang hidup pada zaman sekarang. Di luar kritik dan perkembangan sejarah, satu hal yang Ismail tidak keliru adalah penuturannya tentang "kesediaan untuk berkorban jiwa raga", sesuatu yang pasti makin langka di tengah gelombang materialisme dewasa ini. * diambil dari TokohKesenian Topeng Betawi. [ENSIKLOPEDI] Tokoh kesenian topeng Betawi Haji Bokir bin Dji’un, meninggal dunia dalam usia 77 tahun pada hari Jumat (18/10) sekitar pukul 05.30. Jenazah dimakamkan siang harinya setelah shalat Jumat di pemakaman Kampung Keramat, Cipayung, Jakarta Timur. Beberapa tokoh Betawi terkenal sebagai pahlawan perjuangan dan budayawan Indonesia. Nama-nama tersebut antara lain Muhammad Husni Thamrin, K. Noer Alie, Pitung, Ismail Marzuki to Benjamin Sueb yang masih akrab terdengar sampai saat ini. Siapakah mereka? Duabuah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit pengarang Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Jakarta - Siapa bilang anak Betawi ketinggalan zaman? Siapa juga yang bilang anak Betawi tak berbudaya? Betawi sejak dulu sudah maju dan jauh dari kata tak berbudaya. Buktinya, sejumlah anak Betawi mencatatkan namanya di dunia seni dan budaya Tanah Air. Nama seniman Betawi itu bahkan kesohor hingga ke negeri jiran, Singapura dan Malaysia. Seniman Benyamin Suaeb misalnya, punya banyak penggemar di Negeri Jiran. Film-film yang dibintangi, banyak ditonton warga rumpun Melayu negeri seberang. 21 Makanan Khas Jakarta yang Melegenda, Rasanya Otentik Banget Kue Tete, Jajanan Khas Betawi yang Bentuknya Mirip Payudara 6 Fakta Si Doel Anak Sekolahan, Sinetron Populer Era 90-an yang Baru Kehilangan Koh Ahong Berikut enam seniman Betawi yang namanya kondang 1. Ismail Marzuki Betawi necis yang jago cas cis cus bahasa Inggris. Itulah Ismail Marzuki. Betawi asli ini lahir di Kwitang, Jakarta Pusat, pada 11 Maret 1914. Tersohor sebagai seniman, pria yang akrab disapa Maing ini mengawali karier seninya dengan bergabung di kelompok musik MULO. Di usia 17 1931, murid Habib Ali Alhabsy itu sudah menghasilkan lagu "O Sarinah". Tempaan agama di masa anak-anak, membuat Ismail dikenal sebagai pribadi religius nasionalis. Karyanya yang melegenda, seperti "Gugur Bunga" dan "Indonesia Tanah Pusaka" adalah buktinya. Sepanjang hidupnya, Maing menghabiskan waktunya untuk dunia seni. Selain itu dia juga tercatat aktif di sebagai pengurus bidang seni dan budaya Perkumpulan Kaum Betawi yang diketuai oleh MH Thamrin. 2. Benyamin Suaeb Siapa tak kenal Benyamin Suaeb. Anak Betawi kelahiran Kemayoran 5 Maret 1939 ini dikenal aktor serba bisa. Aktingnya yang kocak dan kerap di luar skenario, membuat namanya cepat dikenal penonton. Cucu Haji Jiung atau Haji Ung ini sejak kecil memang sudah mempunyai bakat seni luar biasa. Selain akting, dia juga jago nyanyi, penyiar, dan membawa acara. Lingkungan keluarga yang menyukai seni musik, membuat sosok yang akrab disapa Bang Ben ini seakan mudah menemukan jalannya untuk jadi seniman. Kendali berasal dari keluarga yang cinta seni musik, Ben sempat dilema saat menekuni dunia artis. Gaya hidup bebas dan glamor dunia artis, sempat membuat emaknya, Siti Asiyah, keberatan. Sang emak cemas Ben akan tertular gaya hidup bebas. Siti Aisyah bahkan naik pitam saat mengetahui akhirnya Ben main film. Dia enggan menerima uang hasil main film Benyamin. "Uang haram" kata Mak Aisyah dikutip dari buku Dari Betawi untuk Indonesia, karya Aziz Khafia 2009. Meski begitu, Ben tak menyerah. Dia terus menggeluti dunia akting. Dukungan dari saudara dan keluarga besar membuat dia tetap memutuskan untuk bermain film. Hasilnya, puluhan film akhirnya dibintangi Benyamin Suaeb. Di antara film-filmnya yang ngetop adalah Si Doel Anak Betawi, Tarzan Kota, dan Samson Betawi. Nah berikut adalah tokoh-tokoh berpengaruh asal Surabaya yang membanggakan Indonesia. 1. Bung Tomo. Membahas tokoh Surabaya tentu saja sosok yang diidentikkan adalah Bung Tomo. Ya, pria bernama asli Sutomo ini begitu terkenal akan kiprahnya dalam membakar semangat arek-arek Suroboyo. Ketika itu para pemuda melakukan perlawanan terhadapKBRN Jakarta : Pemprov DKI Jakarta mengganti sejumlah nama jalan, gedung dan zona khusus di berbagai wilayah. Pergantian nama ini, sekaligus bentuk penghormatan pemprov atas jasa tokoh-tokoh Betawi kepada DKI Jakarta. Secara simbolis, peresmian nama-nama jalan tersebut dilakukan di KawasanPriakelahiran 11 Mei 1914 di Kampung Kwitang, Senen, Jakarta Pusat ini dibesarkan dari lingkungan keluarga Betawi. Ismail Marzuki memulai debutnya di bidang musik pada usia 17 tahun, ketika untuk pertama kalinya ia berhasil mengarang lagu "O Sarinah” pada tahun 1931. Ismail mempunyai ketertarikan yang mendalam pada bidang seni. .